Semiotika berasal dari bahasa Yunani : semeion yang berarti tanda. Semiotika adalah
model penelitian yang memperhatikan tanda-tanda. Tanda tersebut mewakili
sesuatu objek representatif. Istilah semiotik sering digunakan bersama dengan
istilah semiologi. Istilah pertama merujuk pada sebuah disiplin sedangkan
istilah kedua merujuk pada ilmu tentangnya. Istilah semiotik lebih mengarah
pada tradisi Saussurean yang diikuti oleh Charles Sanders Pierce dan Umberto
Eco, sedangkan istilah semiologi lebih banyak dipakai oleh Barthes. Baik
semiotik ataupun semiologi merupakan cabang penelitian sastra atau sebuah
pendekatan keilmuan yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda.
Alex Sobur mendefinisikan semiotika sebagai suatu ilmu
atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang
kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-tengah
manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes,
semiologi : pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai
hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai
berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, tetapi juga
mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.
Sedangkan Van Zoest seperti dikutip oleh Rahayu S.
Hidayat menjelaskan bahwa semiotika mengkaji tanda, penggunaan tanda, dan
segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Berbicara tentang kegunaan
semiotika tidak dapat dilepaskan dari pragmatik, yaitu untuk mengetahui apa
yang dilakukan dengan tanda, apa reaksi manusia ketika berhadapan dengan tanda.
Dengan kata lain, permasalahannya terdapat pada produksi dan konsumsi arti.
Semiotika dapat diterapkan di berbagai bidang antara lain: semiotika musik,
semiotika bahasa tulis, semiotika komunikasi visual, semiotika kode budaya,
dsb. Pengkajian kartun dan gambar masuk dalam ranah semiotika visual.
Terdapat tiga bidang kajian dalam semiotika:
pertama, semiotika komunikasi yang
menekuni tanda sebagai bagian dari proses komunikasi. Artinya, di sini
tanda hanya dianggap tanda sebagaimana yang dimaksudkan pengirim dan
sebagaimana yang diterima oleh penerima. Dengan kata lain, semiotika komunikasi
memperhatikan denotasi suatu tanda. Pengikut aliran ini adalah Buyssens,
Prieto, dan Mounin.
Kedua, semiotika konotasi,
yaitu yang mempelajari makna konotasi dari tanda. Dalam hubungan antarmanusia,
sering terjadi tanda yang diberikan seseorang dipahami secara berbeda oleh
penerimanya. Semiotika konotatif sangat berkembang dalam pengkajian karya
sastra. Tokoh utamanya adalah Roland Barthes, yang menekuni makna kedua di
balik bentuk tertentu.
Ketiga adalah semiotika ekspansif dengan
tokohnya yang paling terkenal Julia Kristeva. Dalam semiotika jenis ini,
pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya karena digantikan oleh pengertian
produksi arti. Tujuan semiotika ekspansif adalah mengejar ilmu total dan
bermimpi menggantikan filsafat.
Berdasarkan semiotika yang dikembangkan Saussure,
Barthes mengembangkan dua sistem penandaan bertingkat, yang disebutnya sistem denotasi dan konotasi. Sistem denotasi adalah
sistem pertandaan tingkat pertama, yang terdiri dari rantai penanda dan petanda, yakni hubungan materialitas penanda atau konsep
abstrak dibaliknya. Pada sistem konotasi atau sistem penandaan tingkat kedua rantai
penanda/petanda pada sistem denotasi menjadi penanda, dan seterusnya berkaitan
dengan petanda yang lain pada rantai pertandaan lebih tinggi.
Secara terperinci, Barthes dalam bukunya Mythology menjelaskan
bahwa sistem signifikasi tanda terdiri atas relasi (R = relation) antara tanda (E = expression) dan
maknanya (C = content). Sistem
signifikasi tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang disebut
sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua yaitu
sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat
antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam sistem konotatif terdapat perluasan
atas signifikasi tanda (E) pada sistem denotatif. Sementara itu di dalam sistem
metabahasa terhadap perluasan atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa
merupakan perluasan dari sistem denotatif.
Piliang menjelaskan bahwa
denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan
petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan
makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi (denotative meaning), dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak.
Misalnya, foto wajah Soeharto berarti wajah Soeharto sesungguhnya bukan gambar Soeharta berarti wajah Soeharto itu bukan wajah Soeharto sesungguhnya tetapi palsu.
Denotasi
adalah tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan yang
tinggi. Sedangkan konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan
antara penanda dan petanda, yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak
eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai
kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua, yang terbentuk ketika penanda
dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, seperti perasaan, emosi atau
keyakinan. Misalnya, tanda “bunga” mengkonotasikan “kasih sayang” atau tanda "hati/love" mengkonotasikan "cinta". Konotasi
dapat menghasilkan makna lapis kedua yang bersifat implisit, tersembunyi, yang
disebut makna konotatif (conotative meaning).
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi. (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya).
Roland Barthes, Mitologi, (Jogjakarta: Kreasi wacana, 2009).
0 komentar:
Posting Komentar